Kamis, 19 November 2009
Penerapan Balance Scorecard Pada Koperasi di Indonesia
Koperasi memiliki kedudukan yang khusus dalam perekonomian Indonesia. Secara konstitusional koperasi telah mendapat posisi politis yang kuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan dalam sejarah pembangunan ekonomi Indonesia koperasi telah mendapat banyak dukungan bagi pengembangannya. Globalisasi, perkembangan sosial ekonomi masyarakat, serta perkembangan koperasi sendiri akan menuntut koperasi untuk mampu meningkatkan peran dan fungsi usahanya jika tidak ingin tersisih oleh pelaku usaha lainnya. Hal tersebut dapat diartikan sebagai tantangan untuk meningkatkan kinerja koperasi.
Pengukuran kinerja merupakan salah satu faktor yang amat penting bagi koperasi. Pengukuran tersebut, misalnya, dapat digunakan untuk menilai keberhasilan kpperasi serta sebagai dasar penyusunan imbalan dalam koperasi. Selama ini, pengukuran kinerja secara tradisional hanya menitikberatkan pada sisi keuangan. Manajer yang berhasil mencapai tingkat keuntungan atau Return on Investment yang tinggi akan dinilai berhasil, dan memperoleh imbalan yang baik dari koperasi.
Selama ini pengukuran kinerja yang sering digunakan adalah pengukuran kinerja yang hanya mengukur kinerja keuangan, tidak dapat mengambarkan kinerja koperasi secara keseluruan. Pengukuran kinerja keuangan hanya menilai kinerja untuk jangka pendek dan tidak memperhitungkan harta-harta tak nampak yang
dimiliki koperasi. Dengan adanya kekurangan tersebut, maka diciptakan
suatu metode pengukuran kinerja yang mempertimbangkan aspek keuangan
dan non-keuangan yang dikenal dengan istilah Balance Scarecard. Pengukuran
kinerja Balance Scorecard menyangkut empat perspektif yaitu : Perspektif
Keuangan (Financial Perspective), Perspektif Pelanggan (Costumer Perspective), Perspektif Proses Bisnis Internal (Internal Business Perspective) dan
Perspektif Belajar dan Berkembang (Innovation and Learning Perspective) .
Perspektif pelanggan menggunakan ukuran berapa “nilai” yang diberikan kepada pelanggan dilihat dari segi waktu, kualitas, performansi dan layanan, dan biaya. Contohnya ukuran kecepatan waktu mulai dari permintaan sampai dengan pengiriman sampai ditangan pelanggan, tingkat kepuasan pelanggan terhadap produk kita, tingkat penjualan terhadap produk baru, dan atau banyaknya service call yang dilayani.
Pada perspektif internal dapat mengevaluasi ekspektasi yang diharapkan pelanggan dapat terpenuhi melalui perbaikan proses di internal organisasi tersebut. Disini juga kita dapat mengukur tingkat keahlian dan produktifitas karyawan, kualitas yang dihasilkan oleh organisasi tersebut, dan atau sistem informasi yang baik yang berjalan dalam organisasi.
Dari sisi perspektif inovasi dan pembelajaran dari suatu organisasi kita dapat mengukurnya melalui, peningkatan dan inovasi yang berkelanjutan terhadap produk-produk yang dimiliki. Kita harus garis bawahi bahwa produk disini tidak selamanya berupa barang, pelayanan dan hal-hal lain yang bersifat jasa pun adalah produk. Ukuran yang diberikan antara lain banyaknya produk-produk baru yang dihasilkan dan persentase kebrhasilan penjualannya, tingkat penestrasi terhadap market baru, atau implementasi SCM (supply Chain Management), dll.
Apabila target-target diatas dapat terpenuhi maka efeknya akan mengimbas pada perspektif finansial juga. Finansial disini termasuk mengukur pendapatan dan pengeluaran, lebih dalamnya lagi ROI (return on investment), tingkat penjualan, pertumbuhan market share, dll.
Konsep BSC digunakan untuk menyeimbangkan pengukuran aspek keuangan dengan aspek non keuangan ke dalam empat perspektif (keuangan, keanggotaan, proses bisnis internal, dan pembelajaran dan pertumbuhan).Penelitian ini bertujuan untuk 1) Mengidentifikasi pengukuran kinerja yang dilakukan Koperasi selama ini, 2) Merumuskan serta menggambarkan peta strategi yang sesuai dengan kondisi Koperasi, dan 3) Menganalisis kinerja Koperasi melalui penerapan BSC.
Jadi sangatlah relevan untuk membahas kontribusi yang mungkin diberikan oleh Akuntansi Manajemen bagi pengembangan perkoperasian. Dalam konteks inilah signifikansi kajian mengenai kemungkinan pemanfaatan Balanced Scorecard sebagai sarana penilai kinerja pada badan usaha yang berbentuk koperasi.
II. PEMBAHASAN
A. Karakteristik Koperasi
Koperasi adalah badan usaha yang mengorganisir pemanfaatan dan pendayagunaan sumber daya ekonomi para anggotanya atas dasar prinsip prinsip koperasi dan kaidah usaha ekonomi untuk meningkatkan taraf hidup anggota pada khususnya dan masyarakat daerah kerja pada umumnya, dengan demikian koperasi merupakan gerakan ekonomi rakyat dan sokoguru perekonomian nasional (Ikatan Akuntan Indonesia, 1998).
Pengertian ini selaras dengan definisi yang dikemukakan oleh International Cooperative Alliance (ICA) bahwa “A cooperative is an autonomous association of persons united voluntarily to meet their common economic, social, and cultural needs and aspirations through a jointly-owned and democratically-controlled enterprise.” (www.coop.org). Pernyataan ini pun sejalan dengan tujuan koperasi sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian: “Koperasi bertujuan memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.”
Prinsip-prinsip koperasi merupakan dasar kerja koperasi sebagai badan usaha serta menjadi ciri khas dan jati diri koperasi yang membedakannya dari badan usaha lain. Prinsip-prinsip tersebut terdiri dari: kemandirian, keanggotaan bersifat terbuka, pengelolaan dilakukan secara demokratis, pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota, pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal, pendidikan perkoperasian dan kerjasama antar koperasi (Ikatan Akuntan Indonesia, 1998).
Sementara itu, Pradit Machima (1994a) membedakan antara prinsip koperasi dengan nilai dasar koperasi. Ia menulis: “…Cooperative Principles are the rules governing cooperative organizations, administration and business management. Cooperative Basic Values are the moral obligation of doing business in cooperatives. Values are the foundations of principles. They are the soul of principles.” Nilai dasar tersebut meliputi self-help, selfresponsibility, democracy, equality, equity, serta solidarity. Selain itu, para anggota juga percaya pada values of honesty, openness, social responsibility, dan caring for others.
Dari prinsip-prinsip koperasi serta nilai dasar koperasi di atas, dapat kita lihat pelbagai karakteristik penting dari badan usaha yang berbentuk koperasi. Prinsip-prinsip dan nilai dasar koperasi tersebut merupakan pedoman yang memberi arah bagi setiap koperasi dalam menjalankan kegiatannya. Namun demikian perlu diingat bahwa sebagai badan usaha, koperasi juga harus tunduk pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip bisnis yang berlaku umum pada setiap badan usaha.
B. Peranan Pemerintah dan Praksis Penilaian Pemerintah
Sejak masa pemerintahan Orde Lama hingga berakhirnya Orde Baru, koperasi tidak pernah lepas dari campur tangan pemerintah. Koperasi sering menjadi objek dari kebijakan politik pemerintah. Hal itu tidak terlepas dari keinginan pemerintah menjadikan koperasi sebagai pelaksana kebijakan kebijakannya di tingkat bawah. Kebijakan pembinaan usaha koperasi sejak Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama, yang diprioritaskan untuk mendukung keberhasilan program pengadaan pangan nasional melalui Koperasi Unit Desa, seperti penyaluran pupuk, pembelian padi petani, penyaluran benih varietas baru, yang didukung dengan pemberian kredit pengadaan pangan beserta jaminan kreditnya telah memberikan sumbangan besar bagi tercapainya swasembada beras tahun 1984.
Sementara itu, sejalan dengan perkembangan pembangunan nasional yang ditandai oleh kemajuan pesat di berbagai sektor di luar sektor pertanian, bidang usaha koperasi juga turut berkembang. Lingkup bidang usaha koperasi berkembang mencakup usaha pertanian maupun nonpertanian, seperti industri pangan, penyaluran pupuk, pemasaran kopra, pemasaran cengkih, pemasaran susu, pemasaran hasil perikanan, peternakan, pertambangan rakyat, kerajinan rakyat, penyaluran BBM, penyaluran minyak goreng, penyaluran semen, usaha pakaian jadi, usaha industri logam dan tambang rakyat, usaha angkutan darat udara laut, pembangunan perumahan sederhana, pelayanan jasa simpan pinjam, pelayanan jasa titipan, penyaluran alat kontrasepsi untuk program KB kepada para anggotanya di daerah terpencil dan masyarakat sekitarnya, pemasaran jasa telekomunikasi, pemasaran jasa kelistrikan pedesaan, penyaluran kredit candak kulak, penyaluran kredit tebu rakyat intensifikasi, dan lain sebagainya.
Pada masa Orde Baru, secara rutin juga dilakukan pemilihan KUD Mandiri, Koperasi Teladan, Koperasi Teladan Utama, dan sejenisnya, dengan penekanan pada besaran-besaran keuangan. Meskipun pemilihan pemilihan semacam ini dilatarbelakangi oleh konsep yang cukup bagus, namun sebagaimana sering terjadi di Indonesia, banyak terjadi penyimpangan dalam implementasinya. Tentang peranan pemerintah ini patut diperhatikan pendapat seorang ahli yang menyatakan bahwa koperasi tidak dapat dibentuk dengan mentransfer aset atau bantuan eksternal. Koperasi harus dipromosikan melalui upaya mengajarkan cara-cara dan bentuk-bentuk kerjasama ekonomi dan sosial yang baru, dan dengan meyakinkan orang bahwa ini adalah cara yang masuk akal untuk menghadapi tantangan yang berasal dari perubahan ekonomi, sosial, dan teknologi yang cepat (Munkner, 2001).
C. Separation of Ownership and Control
Dari segi separation of ownership and control, maka koperasi dalam bentuknya yang paling sederhana dicirikan oleh tidak terpisahnya antara members, customers, dan residual claimants. Dalam koperasi, residual claimants (anggota) sekaligus bertindak sebagai customers1. Inilah ciri umum koperasi yang membedakannya dengan organisasi bisnis lain seperti proprietorship, partnership, closed corporation, open corporation, atau notfor- profit organisation.
Dengan bahasa lain, karakteristik utama koperasi yang membedakannya dengan badan usaha lain adalah bahwa anggota koperasi memiliki identitas ganda (the dual identity of the member), yaitu anggota sebagai pemilik dan sekaligus pengguna jasa koperasi (user own oriented firm) (Ikatan Akuntan Indonesia, 1998).
Dalam kaitan sebagai pengguna jasa koperasi, partisipasi anggota dalam kegiatan usaha yang dijalankan koperasi amatlah penting. Pada dasarnya, kualitas partisipasi tergantung pada interaksi tiga variabel, yakni: Para anggota; Manajemen koperasi; dan Program. Partisipasi dalam melaksanakan pelayanan yang disediakan koperasi akan berhasil apabila ada kesesuaian antara anggota, program yang ada, serta manajemen. Kesesuaian antara anggota dan program adalah adanya kesepakatan antara kebutuhan anggota dan output program koperasi. Program di sini dimaksudkan sebagai kegiatan usaha utama yang dipilih atau ditentukan oleh manajemen, seperti penyediaan sarana produksi, pembelian hasil produksi anggota, penjualan barang konsumsi, penyediaan fasilitas perkreditan, pelayanan jasa-jasa seperti penerimaan pembayaran rekening listrik, telepon, PAM, dan lain-lain.
Selanjutnya, kesesuaian antara anggota dan manajemen akan terjadi apabila anggota mempunyai kemampuan dan kemauan dalam mengemukakan hasrat kebutuhannya (permintaan) yang kemudian harus direfleksikan atau diterjemahkan dalam keputusan manajemen. Di samping itu, anggota juga diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat, saran, dan kritik yang membangun untuk pertumbuhan organisasi koperasi.
Terakhir, harus ada kesesuaian antara program dan manajemen, di mana tugas dari program harus sesuai dengan kemampuan manajemen untuk melaksanakan dan menyelesaikannya.
Jadi, efektifitas partisipasi merupakan fungsi dari tingkat kesesuaian antara anggota, manajemen, dan program, yang bisa diformulasikan sebagai:
P = f ( a, m, p )
Di mana : P = partisipasi m = manajemen
a = anggota p = program
Bila digambarkan dalam sebuah diagram, maka model kesesuaian tersebut akan tampak seperti Gambar berikut (Hendar dan Kusnadi, 1999).
Terdapat tiga alat utama di mana anggota koperasi dapat mengusahakan agar di dalam keputusan yang diambil manajemen tercermin keinginan dan permintaan anggota. Ketiga alat tersebut “voice, vote, dan exit” atau hak mengeluarkan pendapat, hak suara dalam pemilihan, serta hak untuk keluar.
Dengan voice, anggota koperasi dapat mempengaruhi manajemen dengan mengemukakan pertanyaan atau usul, memberikan informasi atau kritik. Dengan vote, anggota dapat mempengaruhi siapa yang akan dipilih sebagai pengurus atau manajer, pengawas, atau panitia-panitia lain dalam koperasi. Sementara dengan exit, anggota dapat mempengaruhi manajemen dengan cara meninggalkan (keluar) sebagai anggota atau dengan membeli lebih sedikit kepada koperasi dan lebih banyak kepada pedagang saingannya, atau dengan mengancam tidak melakukan atau mengurangi aktivitas-aktivitas pada koperasi (menjadi anggota pasif).
Agar partisipasi efektif, maka ketiga alat tersebut harus bekerja serempak dan saling melengkapi. Voice akan lebih efektif apabila kemungkinan untuk keluar dibebaskan. Apabila pelayanan yang tersedia dimonopoli oleh pengelola, meskipun ada usul-usul dan pemilihan pengurus baru, akan tidak ada gunanya. Meskipun voice dan vote dalam koperasi sangat kuat, tetapi bila tidak ada hak untuk exit, partisipasi juga tidak akan efektif. Sementara itu loyalitas memegang peranan penting dalam mengaktifkan voice dan exit. Akan tetapi, untuk membuat voice menjadi efektif melalui loyalitas, ancaman exit harus ada, dan ini memerlukan adanya tekanan persaingan yang tinggi di pasar.
Kondisi di atas sulit dijumpai pada praktek penyelenggaraan koperasi saat ini. Acap kita jumpai koperasi-koperasi besar dan maju dalam usahanya, namun justru dengan partisipasi yang rendah atau bahkan sama sekali tanpa partisipasi aktif anggotanya. Apabila kita telaah Perhitungan Hasil Usaha yang disajikan, akan tampak betapa sebagian besar, seringkali malah seluruh, penjualan berasal dari pendapatan dari transaksi dengan nonanggota, sementara partisipasi anggota rendah atau kosong sama sekali. Padahal, identitas koperasi justru sesungguhnya ditegakkan dari tingginya partisipasi anggota dalam melakukan transaksi bisnis dengan koperasinya.
Perbedaan sebuah koperasi dengan sebuah korporasi dalam hubungannya dengan transaksi bisnis dengan nonanggota dalam bisnis yang diselenggarakan, dapat digambarkan sebagai berikut (Hendar dan Kusnadi, 1999).
D. Model 7-S McKinsey
Determinan lain, yang lebih rinci dibandingkan dengan prinsip tidak terpisahnya residual claimants dengan customers, adalah model 7-S McKinsey. Menurut model ini, unsur-unsur penting sebuah badan usaha, selain isu fungsional seperti marketing dan finansial, adalah 7-S; yakni: (1) strategy; (2) system; (3) structure; (4) staff; (5) skill; (6) style; dan (7) share value (Hardjosoekarto, 1994).
Apabila tiap-tiap unsur S dari 7-S ini diurai, maka akan nampak beda sebuah badan usaha dengan badan usaha yang lain. Dengan cara ini, suatu perusahaan swasta tertentu dapat dibedakan dengan suatu koperasi.
Koperasi, misalnya, didirikan, dimodali, dibiayai, diatur dan diawasi serta dimanfaatkan sendiri oleh anggotanya. Selain itu, tugas pokok badan usaha koperasi adalah menunjang kepentingan ekonomi anggotanya dalam rangka memajukan kesejahteraan anggota (promotion of the members’ welfare). Dalam meningkatkan kesejahteraan anggotanya, koperasi tidak hanya dituntut mempromosikan usaha-usaha ekonomi anggota, tetapi juga mengembangkan sumber daya anggota melalui pendidikan dan pelatihan yang dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan sehingga anggota semakin profesional dan mampu mengikuti perkembangan bidang usahanya.
Manfaat ekonomi yang diperoleh anggota koperasi ini merupakansalah satu konsep penting yang membedakannya dengan profit-seeking organisation. Dalam perusahaan swasta, adalah jamak bila mereka berusaha mengakumulasi keuntungan sebesar-besarnya. Akan tetapi, sebuah koperasi akan kehilangan identitas atau jati dirinya bila ia hanya berusaha meraih pencapaian prestasi keuangan saja dengan mengabaikan kemanfaatan usaha yang dilakukannya bagi para anggota koperasi.
Itulah pula sebabnya, Laporan Laba Rugi dalam koperasi disebut dengan Perhitungan Hasil Usaha. Istilah ini digunakan mengingat manfaat dari usaha koperasi tidak semata-mata diukur dari sisa hasil usaha atau laba, tetapi lebih ditentukan pada manfaat bagi anggota (Hardjosoekarto, 1994).
Hal inilah yang sering tidak disadari serta dilalaikan oleh banyak koperasi dalam prakteknya saat ini. Ada banyak di antara mereka yang berhasil mencapai penjualan serta sisa hasil usaha yang tinggi, namun itu semua berasal dari usaha yang sedikit sekali atau bahkan sama sekali tidak memberi kemanfaatan kepada anggota koperasi tersebut. Bila kita telaah Laporan Promosi Ekonomi Anggota yang ada, akan dapat kita temui nilainya amat kecil atau bahkan kosong sama sekali. Sekali lagi, tentunya ini menyalahi alasan pokok keberadaan (raison d’etre) koperasi tersebut.
E. Sebuah Penilaian Kinerja dengan Kesejahteraan Anggota sebagai Tujuan Utama
Dari telaah sebelumnya, dapat kita ketahui betapa sentralnya kedudukan anggota dalam sebuah badan usaha yang berbentuk koperasi. Juga disebutkan dengan tegas bahwa anggota koperasi adalah pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi. Dengan demikian, tidaklah bermakna sama sekali bila sebuah koperasi mampu membukukan angka penjualan atau bottom line yang tinggi, bilamana itu diperoleh dari transaksi yang sebagian besar --atau bahkan seluruhnya-- dengan mereka yang justru bukan anggota koperasi tersebut. Dengan kata lain, pada kondisi tersebut partisipasi anggota amatlah rendah bahkan tidak ada sama sekali.
Demikian pula halnya bila kita jumpai sebuah koperasi yang berhasil meraih sisa hasil usaha yang besar, namun kesejahteraan para anggotanya tetap terabaikan. Ironisnya, kondisi demikian jamak ditemui saat ini. Jelas, hal ini menafikan makna keberadaan koperasi yang bertugas utama meningkatkan kesejahteraan ekonomi anggotanya. Apabila kondisi demikian terjadi, berarti koperasi tersebut benar-benar menyalahi kriteria identitasnya sebagai sebuah koperasi.
Untuk mencegah kondisi-kondisi di atas terjadi, haruslah dibangun kesadaran tentang perbedaan mendasar antara badan usaha berbentuk koperasi dengan badan usaha lainnya. Bila sebuah korporasi akan dianggap berhasil bila mampu membukukan angka keuntungan tinggi, tidak selalu demikian halnya dengan koperasi. Sebuah koperasi yang hanya meraih sisa hasil usaha kecil barangkali akan dianggap berhasil mencapai misinya bilamana ia mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar yang menjadi anggotanya.
Untuk mendorong dan memberi arahan kepada para anggota, pengelola, pengurus, serta pengawas koperasi dalam menjalankan aktivitasnya agar selalu berada dalam batas-batas prinsip koperasi yang benar, sebuah model penilaian yang lebih komprehensif amatlah penting artinya. Model penilaian ini mestilah menempatkan kepentingan dan kesejahteraan anggota pada posisi yang sentral dari keseluruhan aktivitas koperasi. Dalam konteks Balanced Scorecard sebagai sebuah sistempenilaian kinerja, sungguhlah relevan untuk melakukan penyesuaian atas keempat perspektif yang diajukan Kaplan dan Norton yang menempatkan kinerja keuangan sebagai tujuan utama.
Penempatan kepentingan anggota dan kesejahteraannya sebagai tujuan utama sebuah koperasi juga akan bisa memagari koperasi tersebutdari kemungkinan intervensi pemerintah untuk melaksanakan berbagai program seperti yang selama ini jamak terjadi. Koperasi akan memiliki sudut pandang yang lebih fokus untuk menilai kesertaannya dalam programprogram pemerintah, apakah akan mampu memberi nilai tambah bagi kesejahteraan anggota atau kepentingan anggota secara luas.
Berkaitan dengan itu, sebuah perspektif yang mampu merefleksikan dan mengakomodasikan posisi penting anggota serta kesejahteraannya dalam sebuah badan usaha berbentuk koperasi, penting untuk dikemukakan. Seiring dengan argumen yang dikembangkan pada bagian awal bab ini, maka perspektif ini mestinya lebih utama dan lebih penting dibandingkan dengan sekedar pencapaian kinerja keuangan sebagaimana pada badan usaha lain. Dalam model Balanced Scorecard untuk koperasi, perspektif ini kita sebut perspektif keanggotaan. Perspektif keanggotaan ini barangkali lebih tepat bukan menggantikan perspektif pelanggan, namun merupakan perluasan dari perspektif pelanggan dalam bentuknya yang lazim. Dengan demikian, ukuran-ukuran yang dipergunakan pun seharusnyalah mengakomodasi posisi unik anggota tersebut, yakni anggota sebagai pemilik dan sekaligus sebagai pelanggan. Peta strateginya dapat digambarkan seperti gambar 1.
Gambar tersebut menggambarkan dengan jelas interaksi dan interdependensi antar perspektif. Bila perhatian kita fokuskan pada “menggalakkan pendidikan perkoperasian” pada perspektif pembelajaran dan pertumbuhan, misalnya. Dengan menggalakkan pendidikan perkoperasian yang terarah dan berhasil guna, diharapkan akan meningkatkan jumlah anggota baru serta menambah rasio keberterimaan koperasi di kalangan masyarakat sekitarnya. Bila kondisi-kondisi tersebut terpenuhi, berarti terjadi peningkatan interaksi koperasi dengan anggota dan masyarakat, yang ditandai dengan peningkatan persentase jumlah anggota dan masyarakat yang berpartisipasi dalam kegiatan usaha koperasi.
Gambar 1. Peta Strategi Interaksi dan Interdependensi antar Perspektif.
Bila ini terjadi, kegiatan usaha koperasi akan bertambah, sehingga diharapkan pendapatannya pun bertambah. Dengan asumsi tingkat efisiensi terjaga, maka pada akhirnya koperasi akan mampu meningkatkan Sisa Hasil Usahanya. Bagian SHU yang dibagikan kepada para anggota pun akan bertambah, sehingga anggota pun akan memiliki jumlah lebih banyak untuk memenuhi pelbagai kebutuhan hidupnya.
Dikarenakan beragamnya variasi jenis dan bentuk koperasi, sebagaimana juga telah diuraikan pada Subbab Pembatasan Masalah, harus ditekankan bahwa peraga di atas hanyalah contoh Balanced Scorecard pada sebuah koperasi konsumsi dalam bentuknya yang paling umum. Dalam praktek , sebuah koperasi dengan bentuk, jenis, serta permasalahan yang berlainan tentu akan memiliki rumusan Balanced Scorecard yang berbeda pula. Akan tetapi, bila kita teruskan contoh di atas dengan strategi pertumbuhan, maka beberapa ukuran dapat diajukan sebagaimana berikut.
Perspektif Keanggotaan
Perspektif Keuangan
Perspektif Proses Bisnis Internal
Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan
III. PENUTUP
Dalam praksis penilaian manajemen, keempat perspektif di atas telah mencukupi. Akan tetapi, dalam kasus koperasi di Indonesia, terdapat kaitan dengan masalah-masalah sosial dan politik yang tidak dapat diabaikan. Keterlibatan koperasi dengan masalah-masalah sosial dan politik tersebut, kemudian terbukti merupakan pilihan yang tepat, atau bisa juga sebaliknya. Hal inilah yang kemudian membuat citra sebuah koperasi di mata masyarakat berbeda antara satu dengan yang lain. Dan citra ini sangat menentukan keberterimaan koperasi tersebut di mata masyarakat. GKBI atau GKSI, misalnya, sering dinilai memiliki citra dan tingkat keberterimaan yang tinggi di masyarakat dibandingkan dengan INKUD.
Pertanyaannya adalah, apakah kita perlu mengakomodasi hal ini ke dalam sebuah perspektif tersendiri. Bagi koperasi dengan tingkat keterpengaruhan yang tinggi terhadap keberlangsungan hidupnya dari masalah-masalah sosial dan politik yang terefleksikan dalam citra dirinya di mata masyarakat, tentu perlu mempertimbangkan perangkat yang akan mampu memberikan peringatan dini mengenai masalah tersebut. Akan tetapi, bagi koperasi yang cukup memiliki independensi dan terbebas dari masalah-masalah tersebut tentunya akan memiliki pertimbangan yang berlainan.
Namun demikian, haruslah diingat bahwa penilaian terhadap koperasi seharusnyalah tidak saja melihat hasil yang dicapai, tetapi juga bagaimana prosesnya berlangsung. Sesuai dengan prinsip koperasi yang menjadi acuan, maka penyelenggaraan kegiatan koperasi seharusnyalah berlangsung dalam proses yang demokratis serta mengedepankan partisipasi anggota. Tanpa memperhatikan bagaimana prosesnya berlangsung, kita akan kehilangan pedoman dalam upaya meraih hasil yang telah dicanangkan.
Minggu, 18 Oktober 2009
Prinsip Koperasi di Indonesia
· Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka
· Pengelolaan dilakukan secara demokratis
· Pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota (andil anggota tersebut dalam koperasi)
· Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal
· Kemandirian
· Pendidikan perkoprasian
· kerjasama antar koperasi
Senin, 12 Oktober 2009
Pengalaman Mengenal Koperasi di Sekolah
Pengalaman saya dengan koperasi adalah waktu saya duduk dibangku SMA. Walaupun saya bukan termasuk anggota koperasi, tapi saya termasuk siswa yang sering datang ke koperasi, karena banyak kebutuhan yang bisa saya dapatkan di koperasi. Dengan seringnya ke koperasi saya menjadi mempunyai banyak teman saya yang menjadi anggota koperasi. Sehingga kami terkadang bisa sharing tentang koperasi.
Koperasi pada hakekatnya merupakan soko guru perekonomian negeri ini. Namun seiring dengan globalisasi dan terjadinya perubahan yang mendasar dalam sistem perekonomian dunia, telah menempatkan koperasi sebagai model ekonomi yang lemah syahwat. Diakui atau tidak, koperasi telah menjadi model perekonomian yang terpinggirkan oleh derasnya perekonomian dunia yang semakin mengglobal.
Bila diteliti lebih jauh, terdapat beberapa manfaat dengan adanya koperasi di sekolah. Salah satu manfaatnya adalah siswa tidak perlu jauh-jauh membeli barang yang mereka butuhkan diluar sekolah karena letak koperasi yang berada di lingkungan sekolah. Selain itu kadang harga di koperasi jauh lebih murah dari harga diluar. Walaupun hanya berbeda Rp.100,- saja.
Seperti yang diceritakan teman saya tentang pengalamannya menjadi anggota koperasi sekolah. Banyak sekali manfaat yang dapat diambil diantaranya adalah melatih siswa untuk belajar berorganisasi. Siswa sejak dini harus diperkenalkan dengan berbagai macam model organisasi, sehingga ketika ia hidup di masyarakat telah memiliki bekal pengalaman yang cukup.
Selain itu koperasi dapat membentuk mental siswa untuk jujur dan disiplin. Biasannya kepengurusan koperasi sekolah dipilih langsung oleh seluruh siswa yang menjadi anggotanya. Kejujuran dan disiplin harus menjadi landasan yang kokoh bagi setiap gerak langkah pengembangan koperasi sekolah. Tanpa dua hal itu, koperasi tidak akan pernah tumbuh dan berkembang secara maksimal. Siswa yang memperoleh amanat menjadi pengurus mau tidak mau harus bersikap jujur dan memiliki semangat disiplin yang tinggi.
Permasalahannya sekarang adalah bagaimana mengembangkan koperasi di sekolah secara konsisten dan berkesinambungan. Banyak masalah yang dapat menghambat perkembangan koperasi di sekolah. Pertama, rendahnya minat siswa untuk menjadi anggota koperasi sekolah. Tidak banyak siswa yang benar-benar mau dan mampu mengembangkan koperasi sekolah. Kedua, minimnya kualitas sumber daya manusia dalam kaitannya dengan manajemen koperasi sekolah. Pengurus dan pengelola koperasi sekolah adalah para siswa yang terpilih, tetapi kenyataannya mereka itu belum memiliki ketrampilan manajemen yang memadai. Ketiga, sangat minimnya dukungan dan bantuan pemerintah pada koperasi sekolah. Tidak dapat dipungkiri bantuan pemerintah terhadap koperasi sekolah sangat minim, bahkan bisa diakatakan tidak ada kontribusinya sama sekali. Keempat, koperasi seakan-akan menjadi model perekonomian yang terasing. Anak-anak muda kita, khususnya kaum pelajar, minim sekali pengetahuannya tentang koperasi. Dikhawatirkan pada masa-masa mendatang koperasi tidak banyak dikenal oleh kaum muda, khususnya kelompok intelektual muda di negeri ini. Koperasi telah menjadi model pengembangan perekonomian yang terasing di negeri asal usulnya sendiri. Sebuah fenomena yang sangat menyedihkan dan memprihatinkan kita semua.
Untuk itu perlu dilakukan langkah-langkah untuk lebih meningkatkan peran koperasi di sekolah. Dalam hal ini peran pemerintah begitu sentral dan strategis. Mestinya pemerintah lebih menitikberatkan program bantuan modal dan pembinaan teknis lainnya pada koperasi sekolah. Karena siswa-siswa inilah kelak yang menjadi cikal bakal maju mundurnya kehidupan koperasi di Indonesia. Wujud konkritnya, bisa saja pemerintah membangun model koperasi sekolah yang baik dan representatif, sehingga dapat dijadikan model dan rujukan bagi pengembangan koperasi sekolah di seluruh wilayah Indonesia.